PERMASALAHAN KESPRO PEREMPUAN TERMARGINAL

01/08/2009 04:06

PERMASALAHAN KESPRO PEREMPUAN TERMARGINAL




Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia artinya para pengambil kebijakan (pemerintah) berkewajiban untuk memberi jaminan kesehatan kepada semua tingkatan dalam masyarakat dengan standard pelayanan kesehatan yang berkualitas. Disadari bahwa dalam mewujudkan hal di atas, diperlukan peran serta semua pihak termasuk upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian di bidang kesehatan serta membudayakan perilaku hidup sehat pada masyarakat.

Hak Reproduksi mulai dibicarakan dalam Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia tahun 1968. Dalam konferensi itu dikeluarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) yang dikenal sebagai “Deklarasi Teheran”. Dalam deklarasi ini dicantumkan dua hal pokok yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi yaitu hak menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran serta hak mendapatkan dasar dan informasi mengenai hal tersebut.

Hak tersebut diperkuat dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women –CEDAW). Dalam pasal 16 CEDAW disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak, serta mendapatkan informasi untuk itu. CEDAW diratifikasik dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Jadi hak ini sudah memiliki status hukum yang sah dan diakui. Bentuk konvensi yang telah diratifikasi berupa Undang-Undang, dan dilaksanakan serta diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan Keluarga Sejahtera, juga menjamin hak dan kedudukan yang sederajat setiap pasangan untuk mengatur jumlah dan jarak kelahiran anak mereka. Persoalannya, bagaimana memperbaiki kenyataan yang tidak sebaik diatas kertas itu. Hak-hak reproduksi dalam pekerjaan, misalnya, masih terus-menerus menjadi bahan perjuangan kaum perempuan..

PSK Kelompok termarginal.
Tidak dapat disangkal bahwa menjadi pekerja seks komersial (PSK) bukanlah sebuah cita-cita dan mungkin banyak orang menyebutnya sebagai penyimpangan “moral” seseorang. Berbicara masalah pelacuran sangat erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan masalah ketimpangan sosial kaum perempuan. Perilaku seksual yang selalu berganti pasangan membuat para pekerja seks mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV dan AIDS dibandingkan perempuan lain.

Resiko lebih meningkat karena pekerja seks berpenghasilan kecil dan dia harus melayani hubungan seksual dengan lebih banyak laki-laki setiap harinya. Ada juga di antara mereka yang mungkin ingin menggunakan perlindungan, tetapi laki-laki yang membayarnya akan merasa keberatan atas dasar alasan kenyamanan. Bahkan ada juga di antaranya menuntut seks di vagina atau anus tetapi menolak menggunakan kondom.

Berdasarkan hasil penelitian pada September 2008 terhadap pekerja seks yang berasal dari 2 eks-lokalisasi di Kota Bandar Lampung bahwa karakteristik pekerja seks dari rentang usia sebanyak 53,33% berusia 18 – 25 tahun dan selebihnya berusia diatasnya, tetapi ada 1 orang responden yang usianya berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak masih tergolong anak-anak dibawah umur yaitu berusia kurang dari 18 tahun.

Dari latar belakang pendidikan sebanyak 50% responden tamat SD/sederajat dan sebanyak 33,33% tamat SMP/sederajat. Sedangkan 16,67% selebihnya menyatakan Tidak Tamat SD atau Buta Huruf Latin.Sebanyak 83,33% berstatus janda cerai hidup, 3,33% yang berstatus janda karena suaminya meninggal, dan 13,33% mengaku statusnya belum pernah menikah. Terkait dengan status perkawinan bila menyimak penelitian PKBI Lampung pada April 2007 ada 3 alasan yang melatarbelakangi mereka bekerja sebagai Pekerja Seks yaitu alasan ekonomi/kemiskinan, tidak punya ketrampilan, dan sakit hati dikhianati laki-laki/suami.

Perilaku pekerja seks dari rata-rata melayani tamu antara 6 – 10 orang per-minggu, sebanyak 37% yang tahu manfaat menggunakan kondom saat berhubungan seksual, tetapi hanya 7% yang menggunakan kondom saat berhubungan antara 6 – 10 kali per-minggu. Hal dapat terjadi karena adanya alasan klasik dari para tamu yang membayarnya akan merasa keberatan atas dasar alasan kenyamanan.

Bukan Soal Illegal
Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa pentingnya pengetahuan kesehatan reproduksi tidak hanya diperlukan oleh kelompok perempuan dewasa “baik-baik”, tetapi juga diperlukan oleh kaum perempuan yang tersisihkan yaitu kelompok pekerja seks terutama remaja. Walaupun masih banyak pihak-pihak yang merasa takut apabila informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada kelompok ini akan disalahgunakan sehingga wajarlah bila kemudian sebanyak 53% pekerja seks tidak tahu persis tentang IMS-HIV/AIDS, mereka tahu hanya sebatas pernah mendengar nama penyakitnya dan pemahamannya masih bercampur antara pengetahuan yang benar dengan mitos yang keliru.

Menurut pengakuan mereka selama ini kegiatan penyuluhan kesehatan di eks. Lokalisasi ini memang dalam setahun terakhir hampir tidak pernah karena adanya kendala kebijakan bahwa lokasi tersebut statusnya illegal sehingga tidak mungkin dijangkau oleh program Pemerintah Daerah walaupun kenyataannya keberadaan mereka boleh dikatakan antara ada dan tiada. Kalaupun ada penyuluhan lebih banyak dilakukan oleh organisasi sosial atau LSM yang punya kepedulian terhadap penyebaran HIV/AIDS.

Di sebagian besar lokalisasi, pemeliharaan kesehatan bagi pekerja seks dilakukan oleh paramedik atas inisiatif sendiri. Mengingat kualitas paramedik Indonesia pada umumnya, sangat sulit diharapkan bahwa mereka akan melakukan penyuluhan dan konseling tentang penyakit menular seksual ke lokalisasi-lokalisasi pelacuran, apalagi mengadakan studi epidemiologis. Pemerintah sendiri mengalami kesulitan untuk mendeteksi perilaku seksual masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut salah satu solusinya adalah diperlukan kehadiran orang yang dapat mempunyai empati (mungkin senasib) dan dapat diajak berkomunikasi sebagai seorang pendidik sebaya (peer educator) untuk tempat mencari informasi dan berkonsultasi sekaligus dapat menyelamatkan mereka dari penularan berbagai penyakit agar dapat hidup selayaknya perempuan lain.

Dan pendapat yang sering keliru adalah mengkambing-hitamkan para PSK sebagai biang penyebaran infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, padahal bila kita kaji dari data yang dikeluarkan oleh Depkes RI ..................... Yang terpenting dari semua itu kita meyakini bahwa iman dan takwa adalah kunci untuk menjaga moralitas pergaulan laki-laki dan perempuan.

Back

Search site

Gilar Remaja Banjarnegara© 2009 All rights reserved.