Materi KRR

Remaja Indonesia Hadapi 3 Risiko Besar


 
Keberadaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) makin ditunggu-tunggu. Selain diharapkan mampu menjawab permasalahan remaja, juga mempersiapkan remaja mengembangkan kemauan dan kemampuan positifnya. Dalam waktu dekat, PIK KRR bukan hanya ada di sekolah maupun Puskesmas - seperti yang ada pada umumnya - tetapi juga dikembangkan di setiap kecamatan di tempat-tempat yang cukup diminati remaja, seperti di masjid, mall dan lain-lain.
Keseriusan menangani permasalahan remaja memang perlu. Karena lebih dari sepertiga jumlah penduduk Indonesia adalah kelompok remaja usia 10 – 24 tahun sedang dihadapkan tiga risiko besar. Yaitu risiko perilaku seks bebas, HIV/AIDS dan narkoba yang ketiganya disebut triad KRR.
Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Masri Muadz, perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah. Berdasar data penelitian terakhir pada 2005 – 2006, di kota-kota besar mulai dari Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujungpandang rata-rata 40 – 50 persen remaja sudah mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah.
“Sebagai orangtua tentu saja kita terkejut, tapi belum semua orang tua menyadari hal ini. Dari berbagai pertanyaan penelitian yang diajukan kepada remaja antara lain dimana mereka melakukan seks bebas ini, 85 persen mengatakan melakukan di rumahnya,” tuturnya lirih.
Mudahnya remaja melakukan seks bebas di rumah berarti makin memudahkan pintu-pintu masuk HIV/AIDS menyerang siapa saja. Saat ini saja sudah ada sekitar 13.000 orang terkena HIV/AIDS berdasar data terakhir Departemen Kesehatan. “Itu yang terdata. Tapi teorinya mengatakan, kalau mau tahu yang sebenarnya, kalikan 1000,” tegas Masri.
Dari hasil pengalian itu, kata Masri, ada sebanyak 13 juta orang yang sekarang ini mengidap HIV/AIDS dan separuhnya adalah remaja. “Kondisi ini sudah sangat rawan ditambah separuhnyanya itu karena suntik narkoba. “Nah, inilah situasi remaja kita sekarang. Belum semua orang menyadarinya, kecuali orang yang memberi perhatian khusus kepada remaja,” tandasnya.

Dana tidak memadai
Program yang dipersiapkan untuk mencegah, mengurangi dan melindungi remaja bermasalah yang dilaksanakan BKKBN sejak dulu adalah program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). “Program ini dikerjakan banyak orang, banyak sektor, seperti BKKBN, Depkes dan lembaga swadaya organisasi masyarakat,” kata Masri
Diakui Masri, secara program, policy-nya memang kuat karena ada target dan sasaran. Tetapi dikaitkan dengan dukungan dana yang disediakan oleh pemerintah ternyata tidak memadai.
“Contohnya dari Rp 1,4 triliun untuk program KB, untuk KRR hanya Rp 18 miliar. Padahal jumlah sasaran remaja daripada pasangan usia subur (PUS) lebih banyak remaja. PUS hanya 15 persen sedang remaja 40 persen,” tandasnya.

Sesuai kebutuhan remaja
Masalah remaja memang tidak bisa ditangani oleh pemerintah. Semua pihak di mana remaja itu biasa berada, baik peran keluarga, kelompok sebaya, sekolah, organisasi pemuda, harus dilibatkan untuk bersama-sama mengadapi isu ini. Oleh karena itu, PIK KRR tidak selalu berada di sekolah atau pun pesantren, tetapi juga bisa di mall, masjid, gereja atau wadah dimana remaja dapat memperoleh informasi, konseling jelas dan hal-hal lain yang mereka senangi.
“Kalau hanya KRR saja mereka tidak akan datang. Karenanya, PIK KRR harus memberikan pelayanan yang sesuai kebutuhan remaja. Dan pusat ini dikelola oleh, dari dan untuk remaja,” kata Masri.
Pentingnya remaja itu sendiri yang mengelola PIK KRR, karena hanya merekalah yang mengerti bahasa mereka. Berdasar data, informasi yang dibutuhkan remaja tentang KRR, 85 % mereka mencarinya lewat teman sebaya. Mereka tidak mencari ke orang tua, guru atau petugas. Sehingga pendekatan PIK KRR dikelola oleh antar mereka. “Di awalnya memang dikawal oleh guru maupun orang tua, tapi itu semu dalam rangka melepas dia,” kata Masri.

Target di tiap kecamatan
Sejak kepemimpinan Dr Sugiri Syarif sebagai Kepala BKKBN Pusat mulai ditetapkan bahwa di setiap kecamatan akan ada satu PIK KRR yang aktif. Pembentukan PIK KRR pun sudah mulai diresmikan di beberapa daerah seperti di Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur dan Jawa Barat.
“Berdasar data kita saat ini ada 2236 PIK KRR, sementara jumlah kecamatan yang ada sekarang ada sekitar 6000, berarti program kita sudah berjalan seperenamnya,” kata Masri.
Sementara itu, pendekatan yang dikembangkan dalam PIK KRR, ungkap Masri, adalah pengembangan pola Tegar Remaja. Dari pendekatan ini diharapkan bisa mengembangkan segala kemampuan dan kemauan positif remaja.


Remaja Sehat Remaja Berprestasi


 
Pengetahuan kesehatan reproduksi remaja (KRR) menjadi penting dipelajari dan dipahami remaja bagi kehidupannya. Kian meningkatnya kasus berkaitan dengan KRR menjadi salah satu buktinya. Bagaimana dengan remaja DI Yogyakarta, pentingkah masalah KRR bagi mereka?

“Bu, seks itu apa sih?” tanya seorang anak pada ibunya. Namun dengan sedikit ketus sang ibu menjawab, ”Kamu nggak usah tanya soal itu. Tabu. Sudah, kamu itu belajar saja!” Demikian ilustrasi yang keluar dari bibir Dian, siswi kelas III SMU 3 Pakem, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ketika ditanya mengapa perlu mengetahui tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR), termasuk masalah seks.
Padahal, kata pengelola majalah dinding (mading) sekolah bertema KRR, masalah seks dan KRR sangat penting untuk diketahui serta dipahami. Sehingga dengan tahu tentang KRR, remaja atau siapa pun akan bermanfaat bagi kesehatan kehidupannya. Dengan memahami KRR beserta persoalannya, remaja atau siapa pu tidak akan melakoni langkah yang salah.
Apa jadinya, bila seorang remaja putra atu putri kurang memahami masalah KRR, demikian tanya Diah yang berjilbab ini, tentu bisa saja terjebak pada pola pergaulan yang keliru. “Hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki bila mereka tidak tahu tentang KRR itu,” cetusnya.
Apalagi, bagi kalangan remaja yang hidup ditengah-tengah kota pariwisata internasional yang acap kali ‘menerima’ pola gaul dan ‘budaya’ mancanegara yang dibawa para wisatawan seperti DIY. Belum lagi ditambah kian marak dan bebasnya arus informasi baik yang baik maupun yang berkategori sebagai ‘polusi’.
Maka sangat tepat, imbuh siswi kelas III IPA ini, bila masalah KRR itu ditanamkan atau diberikan pada anak sedini mungkin sesuai dengan tingkatan usianya. Bukanya malah ditabukan, karena bisa menjadi bumerang dibelakang hari. Pengetahuan KRR memberi banyak wawasan, termasuk bahanya HIV/AIDS dan narkoba.

Dana pembinaan
Mading bertema KRR SMU 3 Islam Pakem ini sudah berlangsung selama satu tahun. Dengan pergantian edisi setiap bulan sekali. Berbagai krasi ditampilkan agar selalu memberikan daya tarik siswa maupun guru tertarik membaca sehingga mengetahui ‘ada pengalaman-pengalaman baru’ yang penting bagi dirinya.
Berkat kreasi dan keseriusannya memilih tema KRR, tak sia-sia jika Mading sekolah SMU 3 Islam Pakem ini menjadi satu dari sepuluh mading SMU Propinsi DIY yang memperoleh dana pembinaan berupa Tabungan Bantuan Belajar Mandiri dari Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta.
“Alhamdulillah, semoga dana pembinaan ini bisa memotivasi kami untuk berkreasi dan lebih serius lagi mengkat isu KRR secara baik dan familiar,” tukas Uswatun dan Dian seraya mengembangkan senyumnya.
Sementara bahan-bahan diperoleh dari berbagai sumber. Misalnya, buku-buku, media massa, majalah, hasil diskusi, seminar, sumbangan-sumbangan dari para siswa, dan sebagainya. Bahkan, guna memperdalam pengetahuan KRR, mereka pun sering mengikuti diskusi dan seminar, baik yang diselenggarakan sekolah lain, LSM, maupun instansi terkait seperti Dinkes serta BKKBN.
“Kami sering mengadakan diskusi atau tukar pendapat tentang KRR dan perkembangannya dengan teman sebaya, sebab jika dengan guru suka merasa sungkan, jadi terasa nggak fair,” ujar Diah.
Meski, dalam ajang diskusi siswi sering malu-malu dibanding siswa yang cenderung terbuka. Tapi untuk selanjutnya biasa-biasa saja, karena siswi memang perlu adaptasi dalam berdiskusi dengan teman sebaya pria.
Masalah atau isu menarik yang menjadi ‘kegemaran’ dalam banyak diskusi, di antaranya bertema masalah pernak-pernik pacaran di kalangan remaja (mencapai 75 persen), serta maraknya situs porno di intenet atau dunia maya, dan gampangnya memperoleh barang-barang berkategori narkoba.
“Menarik dan seriusnya masalah KRR, menjadikan siswa dan siswi SMU 3 Islam Sleman ini mengagendakan pertemuan seminggu sekali seusai upacara. Setiap kelas memperoleh giliran sebagai ‘tuan rumah’ secara bergantian,” tambah Uswatun yang sedari tadi mendampingi Diah menjaga standnya. Langkah maju ini menjadi kian kuat karena pihak sekolah beserta guru-gurunya memberi dukungan sehingga menambah semangat siswa.
Semakin banyak wawasan kian mempertebal rasa percaya diri, terutama dalam melakoni kehidupan ke depan. “Untuk itu, jadilah diri sendiri. Lakoni hidup ini secara sehat lahir dan batin, termasuk sehat dalam bergaul dan berperilaku. Jadilah remaja sehat, remaja berprestasi, serta rajin pula memperdalam masalah agama,” kata Dian arif.
 

 

Pelajaran Kesehatan Reproduksi Perlu Masuk Kurikulum


 
Kesehatan reproduksi dan hak reproduksi merupakan hak asasi setiap manusia. Setiap manusia berhak mendapat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan keselamatannya. Benarkah masalah hak dan kesehatan reproduksi bukan merupakan persoalan medis semata, tetapi terkait pula dengan permasalahan sosial, yang di dalamnya termasuk ketimpangan jender dan bentuk diskriminasi lain?

Remaja adalah aset masa depan bangsa. Lantas, bagaimana dengan remaja kita, apakah mereka memiliki prospek yang jelas, termasuk dengan kesehatannya? Dokter Vitrie Winastri, Direktur Pelaksana Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta menjawab, sebelum terlambat semua pihak harus berbuat terbaik. Tujuannya agar remaja bangsa ini tidak ‘bingung’ dalam ketidaktahuannya sehingga membuat terpuruk pada rasa penyesalan.
“Derasnya era informasi yang dibarengi dengan berkembang pesatnya teknologi modern dapat menjadi bumerang bagi upaya mencegah keselamatan remaja dan semua pihak,” lanjut dr Vitrie Winastri pada Hari Setiyowanto dari Majalah GEMARI di ruang kerjanya, bilangan Pisangan Baru Timur, Jakarta.
Seperti dikatakan ibu dua anak ini, persoalan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) bukan saja menjadi perhatian nasional, tapi sudah menjadi fokus perhatian dunia internasional. Ia menandaskan, di tingkat nasional masalah KRR perlu mendapat perhatian secara khusus. Pasalnya, persoalan yang dihadapi remaja sangat kompleks dan perhatian tercurah bagi remaja selama ini dirasakan sangat kurang.
Menurut dokter lulusan Fakultas Kedokteran Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi), Jakarta tahun 1994, karena selama ini upaya di bidang kependudukan dan keluarga berencana yang menjadi program nasional lebih banyak ditujukan pada pasangan usia menikah. Oleh sebab itu, ia menggarisbawahi perlunya informasi yang jelas, adil, berimbang dan transparan tentang KRR bagi remaja.
Informasi yang dimaksud aktivis PKBI ini bukan hanya ditujukan kepada remaja di kota saja, tetapi juga remaja di pelosok-pelosok pedesaan. Sebab, remaja di mana pun berada, memiliki hak sama dalam memperoleh informasi dan pengetahuan KRR. “Melalui program internet kami melakukan komunikasi dan menyebarkan informasi kepada masyarakat khususnya remaja. Selain itu kami juga melakukannya melalui telepon,” kata dokter kelahiran Jakarta, 19 Oktober 1967.
Program komunikasi melalui kedua media tersebut sangat efektif karena remaja yang mengemukakan persoalannya bisa menyembunyikan identitas dirinya. Mereka bisa mencurahkan segala problema yang berkaitan dengan masalah KRR secara gamblang tapi terarah.
Pihaknya, seperti diungkapkan Vitrie, juga membentuk Peer educator/conselor di mana pendekatannya dilakukan oleh pendidik sebaya. Maksudnya, pendekatan dilakukan kepada kelompok dampingan melalui pendamping yang sebaya usianya. Pelayanan lainnya melalui Youth Centre, pelayanan-pelayanan dan aktifitas yang disediakan kepada remaja dipusatkan atau berlokasi di Youth Centre.

Perlajaran KRR
Masa haid anak perempuan maupun kedewasaan anak pria semakin maju lebih awal, hal tersebut terjadi karena seiring meningkatnya kandungan gizi makanan yang dikonsumsi. Namun di sisi lain masih minimnya informasi sehingga menimbulkan ketidaktahuan dan keengganan remaja itu sendiri guna mengadakan dialog dengan orang yang lebih tua, seperti orang tua dan guru di sekolah dan lainnya. Sementara masalah seksualitas merupakan masalah utama dan sensitif dalam perkembangan kehidupan remaja.
“Memandang begitu pentingnya pengetahuan KRR bagi remaja maupun anak serta masih sulitnya orang tua atau guru dalam menyampaikan informasi yang jelas, transparan sesuai dibutuhkan remaja maka sangat bijak apabila pelajaran khusus Kesehatan Reproduksi Remaja dimasukan dalam kurikulum pelajaran di sekolah,” usul dr Vitrie serius.
Dokter yang menjalani masa dokter PTT-nya di sebuah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, selama dua tahun ini menandaskan, bila ingin calon pengelola bangsa masa depan ini sehat maka kebutuhan KRR dengan perspektif jender harus terpenuhi sejak dini. “Bukankah remaja merupakan calon aset potensial untuk mengelola bangsa besar ini di masa depan?” kata dr Vitrie balik bertanya.
Lebih lanjut diungkapkan dia, berdasarkan pengalaman selama memberikan penyuluhan di berbagai sekolah, ternyata sekolah swasta lebih gampang ketimbang sekolah negeri. Sekolah negeri terlalu banyak birokrasinya. Seperti misalnya, bila pihaknya (PKBI) ingin mengadakan kegiatan sosialisi tentang KRR ke sekolah negeri harus mengajukan ijin ke Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional terlebih dahulu, yang kadang ditunggu-tunggu jawabannya tak pernah jelas dan pasti. Sedangkan sekolah swasta selalu memberi kemudahan karena menyadari bahwa pengetahuan KRR memang dibutuhkan siswa.
“Barangkali persoalan ini harus disikapi secara arif oleh pihak Depdiknas karena pengetahuan KRR sangat penting bagi anak dan remaja atau siswa-siswa, terlebih di tengah kencangnya arus deras informasi yang disebarkan melalui berbagai media saat ini,” tandas wanita berjilbab dan familiar ini penuh harap. Selain itu, ia juga mengingatkan agar semua pihak turut bertanggung jawab terhadap masalah KRR ini serta membina iman sesuai agama atau kepercayaannya masing-masing.

 

Program KRR Berbeda dengan Pendidikan Seksual


 
Penyebab hamil di luar nikah di kalangan remaja sekarang ini makin bervariasi. Penggunaan drugs, permen memabukkan, lem hisap seringkali menjadi alat “coba-coba” kaum remaja untuk mendapat rangsangan tertentu dalam menyalurkan dorongan biologisnya. Sementara itu, orang tua tidak mau tahu tantangan yang dihadapi remaja sekarang semakin besar.

“Oleh karena itu, bukan hanya mengandalkan peran pemerintah atau lembaga swasta, tapi semua harus bisa membuat cara-cara penanggulangan yang lebih baik lagi,” tukas Prof Dr Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, saat menjawab salah satu pertanyaan siswa SMA dalam Sosialisasi Kesehatan Reproduksi Remaja memperingati Hari Kependudukan Sedunia di Auditorium BKKBN Pusat beberapa waktu lalu.
Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002 – 2003 menunjukkan sekitar 17% kehamilan masuk dalam kategori tidak diinginkan, baik karena tidak tepat waktu maupun karena tidak ingin hamil lagi. Tingginya kehamilan tidak diinginkan (KTD) ini erat kaitannya dengan aborsi. Dari estimasi jumlah aborsi per tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar 2,4 juta, sekitar 800.000 di antaranya terjadi di kalangan remaja.
Tingginya kasus KTD di kalangan remaja, menurut Meutia, antara lain disebabkan kurangnya komunikasi antarpihak (peran lembaga swasta) dengan mereka yang membutuhkan. “Hamil di luar nikah sekarang ini memang makin bervariasi. Seperti drugs, permen memabukkan, lem hisap untuk mendapat rangsangan tertentu. Sementara itu, orang tua tidak mau tahu tantangan yang dihadapi remaja sekarang semakin besar.”
Dr Zahidul Huque, UNFPA Representative di Indonesia yang ikut membuka sosialisasi KRR mengatakan, kunci dari semua itu adalah dengan menjaga remaja khususnya perempuan di sekolah, memberikan pendidikan life skill, menunda pernikahan dan kehamilan semasa remaja dan cegah HIV/AID. “Remaja adalah bagian dari solusi dan kekuatan yang mendorong pembangunan di masa depan. Oleh karena itu, harus kita ikut sertakan mereka dalam berbagai kegiatan.”
Ditambahkan representative UNFPA yang belum lama ini menggantikan Dr Thoraya Obaid ini, setengah dari penduduk dunia berusia di bawah 25 tahun. Lebih dari 500 juta penduduk usia 15 – 24 tahun saat ini menghabiskan 2 US dolar per harinya, 96 juta juta wanita muda di negara berkembang tidak bisa membaca atau menulis, 14 juta anak perempuan usia 15 – 19 tahun menjadi ibu setiap tahun. Dan setiap harinya, 6000 penduduk muda terinfeksi HIV baru. “Situasi penduduk di Indonesia pun tidak berbeda jauh dengan situasi dunia dan negara berkembang pada umumnya.”

Anggaran masih kecil
Program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di sekolah pada dasarnya bertujuan untuk memberi pemenuhan hak-hak reproduksi bagi remaja dalam hal promosi, pencegahan dan penanganan masalah-masalah kesehatan, reproduksi dan seksual. Menurut Kepala BKKBN Pusat Dr Sumarjati Arjoso, SKM, program ini mencakup tiga hal pokok yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan NAPZA atau yang dikenal dengan nama triad KRR.
“Program KRR berbeda dengan pendidikan seksual atau sex education. Karena, kesehatan reproduksi meliputi pemahaman anatomi dan fisilogi organ-organ reproduksi terutama yang terkait dengan fungsi seksual dan bagaimana menjaga kesehatan,” tegas Sumarjati.
Meski sudah cukup banyak hasil yang dikerjakan pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, namun diakui Sumarjati masih terlihat berbagai kekurangan yang ada di lapangan. Contohnya, terbatasnya kemampuan para tenaga penyuluh, pendidik dan konselor sebaya di lapangan.
Fakta dan kondisi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa median umur kawin pertama perempuan Indonesia masih rendah, yaitu 19,5 tahun. Kondisi ini diikuti dengan masih tingginya angka kelahiran pada usia remaja yang masih mencapai angka di atas 10 persen. Hasil survey Demografi 2002-2003 ini menunjukkan, 8% sudah pernah melahirkan, 2% sedang mengandung anak pertama.
Oleh karena itu, kata Sumarjati, informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi sangat dibutuhkan remaja. Sayangnya, jumlah anggaran untuk program KRR masih sangat kecil. Pada tahun 2006 ini BKKBN Pusat hanya memperoleh anggaran sebesar Rp 80 Miliyar, sementara program-program yang akan dikembangkan terbilang cukup banyak.
Keberadaan pihak lembaga swasta dalam mendukung terselenggaranya program KRR diakui Sumarjati cukup membantu. “Belum lama ini Unicef telah mendanai program KRR masuk dalam kegiatan pramuka. Hanya saja program bermanfaat ini baru ada di empat provinsi,” tukas Sumarjati.

Kemasan visual
Sosialisasi KRR yang dihadiri sekitar 100 siswa SMP, SMA beserta guru Bimbingan Penyuluhan dan mahasiswa perguruan tinggi di DKI Jakarta ini juga menghadirkan Dr Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mengemas pemberian informasi KRR dalam bentuk berbagai atraksi sulap, pantomin, musik band dan media visual lainnya.
Terkait dengan dunia remaja, Indonesia sudah menjadi tujuan penyebaran narkoba yang masuk secara ilegal lewat darat, laut dan udara. Tempat-tempat rawan narkoba antara lain di diskotik, kamar mandi/WC, kantin sekolah, tempat parkir, warung, perpustakaan, bandara/pelabuhan dan tempat kos. Penyelundupan Narkoba ini bisa diselundupkan di dua paha bagian dalam, di sela dua payudara, di bawah pusar dan – maaf - selangkangan.
“Tindakan amoral seringkali dilakukan guna menyelundupkan barang haram ini lolos sensor. Bahkan lelaki Nigeria dilatih menelan bubuk narkoba melalui balon atau memasukkan ke dalam alat kemaluannya,” tukas Victor seraya menampilkan atraksi sulap meniup balon dan menelannya bulat-bulat ke dalam mulut.
Tahapan penyalahgunaan narkoba ini kata Victor awalnya dari rokok, kemudian beralih mengisap rokok ganja, alkohol dan psikotropika, disusul kemudian dengan seks bebas. Hasil SKRRI 2002 – 2003 menunjukkan bahwa sekitar 6 dari 10 remaja laki-laki usia 15 – 24 tahun merokok setiap hari. Sedangkan sekitar 15 – 24 tahun pernah mengkonsumsi alkohol dan 8 % pernah menggunakan narkoba.

 

PENGEMBANGAN PUSAT INFORMASI KRR


 
Banyak pihak menganggap pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja sangat penting, namun kenyataan di lapangan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR) masih minim sekali. Dari berbagai survey yang dilakukan pada orang tua dan guru, mereka juga mendukung program KRR, tapi buku pegangan yang mereka miliki masih sangat minim.

Untuk menjawab permasalahan itu, sejak awal 2002 lalu, BKKBN bekerja sama dengan Yayasan AIDS Indonesia mencoba menerapkan metode yang dinilai cukup efektif dan efisien bagi remaja, juga orang tua. Yaitu, pengembangan model pusat informasi KRR melalui pemberdayaan pendidik sebaya dan konselor sebaya (PS/KS) di tingkat komunitas. Karena terbatasnya dana yang dikucurkan World Bank (Bank Dunia), proyek ini baru direalisasikan di dua propinsi dengan mengambil sepuluh kabupaten. Pertama, provinsi Jawa Tengah: Brebes, Cilacap, Jepara, Pemalang dan Rembang. Dan kedua, provinsi Jawa Timur: Ngawi, Trenggalek, Jombang, Sampang dan Pamekasan.
Menurut Siswanto Wilopo, Deputi Bidang KB dan KS BKKBN, ada dua alasan mengapa dua provinsi ini yang terpilih. Alasan pertama, karena dilihat dari sumber daya ke depan Jawa Tengah dan Jawa Timur dianggap mampu memanfaatkan sumber dana yang tersedia. Alasan kedua, Jawa Tengah dan Jawa Timur dinilai memiliki infrastruktur yang kuat dan memiliki kontribusi yang besar bagi pengembangan di daerah sekitarnya.
“Model-model peer sebaya yang dikembangkan di daerah lain sudah beragam, tapi keberadaannya kurang menjamin efektifitas tinggi dan belum terlihat dampaknya secara nyata,” jelas Siswanto, saat membuka seminar pengembangan model informasi KRR yang digelar YAI dengan BKKBN di ruang serbaguna BKKBN, Jakarta, 6 Agustus 2002 lalu. Hadir sebagai pembicara, Dra Ninuk Widiantoro, psikolog yang aktif di YAI dan Eddy N Hasmi, Direktur Remaja dan PHR sebagai moderator.
Keberadaan peer sebaya ini menjadikan kegiatan yang harusnya terus berlanjut, kadang hanya sebagai tanda atau indikator bahwa masalah remaja sudah diperhatikan dengan baik. “Kita harus mengakui saat ini materi yang tersedia sangat kurang, keterampilan belum ada dan keberlangsungan organisasi belum dapat dilakukan dengan baik. Ada istilah, bantuan berhenti, kegiatan pun berhenti. Ini menjadi tantangan bagi kita. Apalagi pendanaan KRR kini telah menjadi program nasional. Sehingga ada kewajiban moral bagaimana memanfaatkan dana bantuan dikembangkan melalui chanel-chanel yg cocok,” jelas Siswanto.
“Dari dua provinsi ini, kita belajar banyak bagaimana memanfaatkan materi yang ada, hasil dari materi yang ada menjadi warisan bagi daerah lain mengacu pada model yang telah digunakan. Materi untuk daerah Jawa belum tentu cocok untuk daerah lain. Mudah-mudahan konsep ini bisa digeneralisasikan ke daerah lain,” tambahnya.

Seragam Pramuka

Menjadi pendidik/konselor sebaya diantara remaja dengan usia beda tipis (tidak berbeda jauh), sebenarnya memiliki tantangan sendiri. Apalagi materi yang diberikan berkaitan dengan sex education yang masih dianggap tabu bagi masyarakat pada umumnya. Untuk menyiasati itu, ada beberapa teknik yang dilakukan beberapa PS/KS agar tidak hanya remaja yang mau mengakui keberadaan mereka, tapi juga instansi terkait yang diharapkan mau membantu merealisasikan kegiatan penyuluhan ini.
Contohnya Sri Sundari (20), pendidik/konselor sebaya dari Trenggalek. Tinggal di kota terkecil di Jatim ini, ungkap Sundari, memiliki permasalahan yang tak kalah besarnya dengan kota Malang, Yogya maupun Surabaya. Upaya yang dilakukan adalah merangkul kelompok-kelompok remaja yang tidak berstruktur, seperti anak geng, anak jalanan, tukang ojeg yang drop out SMU. “Kenyataan di lapangan, jadi kian mendewasakan kami bahwa ternyata cukup banyak remaja bermasalah. Sehingga, kami mempunyai tanggung jawab moral untuk membantu mereka.”
Materi KRR yang berkaitan agama, ungkap Sundari, dianggap cukup sulit untuk diterangkan pada teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, mereka pun bekerja sama dengan Departemen Agama guna memberi akses pula untuk bisa mendekati pesantren-pesantren di daerah trenggalek. Sebagai remaja yang aktif di kegiatan pramuka, seragam pramukanya kadang dijadikan tameng untuk bisa menembus jalur birokrasi yang dinilai Sundari dan teman-temannya menjadi kendala. “Kalau keberadaan pramuka diakui kita gunakan agar bisa mendapat tempat di hati para pak pejabat. Jadi, mohon ma’af kalau YAI sering dinomor duakan, hehehheh,” celetuk Sundari dengan dialeg jawanya.
Lain halnya dengan pengalaman Wahyu, PS/KS dari Sampang. Ia pernah disemprot “lonte-lonte” di pasar, gara-gara mencoba mendekati remaja terminal, pasar yang menjadi sasaran pembinaan dan penyuluhan KRR. “Remaja di sana sangat keras, butuh kasih sayang, broken home. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk memberi pendampingan dan membangun tali kasih antara kakak dan adik.”
Dari hasil berbagi pengalaman PS/KS yang didatangkan khusus mengikuti seminar di Jakarta bersama sekitar 40 anggota LSOM, Ninuk menyimpulkan bahwa tingkat pengetahun PS/KS terhadap masalah kesehatan reproduksi telah meningkat karena adanya kegiatan ini. Padahal, mereka hanya digembleng selama empat hari dari tanggal 8 – 11 Januari di Ambarawa dan mulai dilakukan penyuluhan pada remaja dilaksanakan selama 4 bulan lalu, yaitu sejak April – Juni. Antusias remaja yang mengikuti penyuluhan ini pun dinilai cukup bagus. Karena, dari 12898 remaja yang terdaftar ada 10.062 yang mengikuti sampai selesai (82%).
 

 

Pelayanan Informasi Kespro Anak Usia 10 – 14 Tahun


 
Masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang pentingnya pemberian informasi kesehatan reproduksi diberikan sejak dini pada anak-anak, menjadi salah satu alasan mengapa pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) lebih banyak difokuskan pada sekolah menengah atas (SMU/SMK/MAN). Menyiasati hal ini, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Yayasan Mulia Kasih, Semarang, telah melakukan proyek uji coba di sekolah-sekolah Dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah dengan mengembangkan Model Pelayanan informasi kesehatan reproduksi bagi anak-anak usia 10 – 14 tahun, atau pada siswa kelas 5 SD/MI. Sayangnya, proyek yang didanai Bank Dunia ini hanya terbatas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Awalnya saya khawatir waktu menjelaskan soal alat reproduksi perempuan dan laki-laki pada siswa SD. Tapi setelah saya lihat respon mereka bagus, saya merasa lebih enjoy menjelaskan sesuatu yang sebelum terkesan vulgar,” cetus Sri Mulyati, SPd, guru SDN Kebon Dalem, Kabupaten Pemalang, menceritakan pengalaman barunya.
Bagaimana tidak harap-harap cemas, ungkap Sri lagi, informasi kespro pada anak-anak SD merupakan program baru yang belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, sebelum menerangkan pada murid-muridnya, Sri pun menerangkan dulu pada anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMP kelas I. “Wahh…ternyata anak saya yang saya pikir sudah baligh pun belum paham apa itu mimpi basah. Dia tahunya mimpi basah itu cuma ngompol saja.”
Bentuk pelayanan informasi KRR yang dilakukan BKKBN dan Yayasan Mulia Kasih memang berbeda dengan lembaga sosial lainnya. Sebelum memberikan pendidikan KRR, para pengajar yang terdiri dari guru, komite sekolah maupun konselor sebaya telah ditatar selama 4 hari dengan materi cukup padat untuk ditransfer pada anak didiknya. Materi yang diajarkan antara lain; diriku dan tubuhmu, merawat kebersihan organ reproduksi, perubahan pada tubuh, pengertian seksual dan tanggung jawab, sopan santun dalam pergaulan. Uniknya, sebagian materi itu ada yang disampaikan dalam bentuk puzle. Sehingga anak lebih menikmati pelajaran sebagai permainan yang dapat diingat dengan baik.
Penataran yang dilakukan selama 4 hari bagi guru, komite sekolah dan konselor sebaya pada awal Oktober 2003 lalu ini, ungkap Sri, berdampak positif bagi sekolah. Siswa jadi lebih terbuka dalam menceritakan pengalaman pribadinya. Sehingga, program bimbingan konseling yang sebelumnya macet menjadi lancar dan makin menambah kedekatan guru dan siswa.
Meski pelatihan informasi KRR pada siswa hanya diberikan selama dua hari penuh, dampak positif ini pun diakui Abdul Qadir dari Komite Sekolah MI Sugih Waras, Kabupaten Pemalang. Sekolah yang berada dalam lingkungan pesantren ini, semula ragu memberikan pendidikan KRR pada siswanya. Oleh karena itu, dalam memberikan informasi KRR diselipkan norma-norma agama sebagai landasan membentengi iman siswa. Antara lain dengan menyuruh siswa yang mengikuti kegiatan KRR harus membekali diri dengan membawa alat ibadah dan melakukan shalat jama’ah di masjid.
“Sayangnya di buku pedoman, tidak ada bacaan do’a bagaimana do’a sewaktu mandi besar setelah haidh dan do’a-do’a terkait lainnya,” ujar Abdul Qadir yang mnjadikan program KRR di sekolahnya menjadi kegiatan ekstrakurikuler di hari Jum’at. “Kebetulan Jum’at itu khusus untuk kegiatan pramuka, jadi kita masukkan informasi KRR dalam kegiatan ini. Ternyata siswa jadi antusias bertanya. Bukan hanya membantu sekolah, tapi juga membantu orangtua mengatasi permasalahan yang dihadapi anaknya. Oleh karena itu, banyak orang tua yang mengcopy sendiri buku panduannya agar bisa lebih detail menjelaskan pada anak.”
Partisipasi positif dari orangtua pun dirasakan Faradilla Amini, konselor sebaya MI Konang Kecamatan Geulis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, saat diundang oleh dua sekolah swasta yang kebetulan pemiliknya adalah seorang dokter dan menjadi salah satu orangtua tempat Fara mengajar. “Informasi ini benar-benar membantu anak mengatasi sendiri masalah pubertas.’
Menurut Edi N Hasmi, Direktur Remaja, BKKBN, program pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi anak usia 10 –14 tahun memang program baru dan wajib dicoba. “Banyak kekhawatiran, ketakutan yang terjadi, tapi setelah terjun langsung di lapangan semua dapat ditepis karena mendapat banyak dukungan dari orang tua, ulama dan masyarakat sekitar,” ungkap Eddy seraya menguraikan kunci keberhasilannya yaitu adalah komunikasi dan selalu melibatkan stake holder dalam berbagai hal.

 

Pengguna Narkoba Lebih Suka Menyendiri,
Cenderung Pemarah dan Mudah Berhalusinasi


 
Masalah narkoba tetap menjadi momok mengerikan bagi semua bangsa di dunia. Di Indonesia, 70 persen dari 4 juta pecandu narkoba tercatat sebagai anak usia sekolah yaitu usia 14 hingga 20 tahun, bahkan sudah menyusup ke anak usia Sekolah Dasar (SD). Data yang diperoleh melalui Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Depdiknas tahun 2004 lalu menunjukkan angka persentase pengguna telah mencapai 4 persen dari seluruh pelajar Indonesia.

“Bekal iman dan takwa saja tidak cukup, harus ada aspek sosial, politis yang dapat menghentikan penyebaran narkoba di kalangan anak dan remaja,” tukas Nurul Arifin saat berdialog dengan 110 siswa SMP dan SMA di acara Orientasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Pengurus OSIS, yang memadati aula SMK Negeri 57 Jakarta. Acara dilanjutkan dengan Pencanangan Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK –KRR) untuk 30 SMP, SMA, SMK oleh Walikota Madya Jakarta Selatan pada tanggal 30 Agustus 2005 lalu.
Narkoba merupakan obat yang cara kerjanya mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga mampu mempengaruhi peranan, fungsi mental dan perilaku seksual. Celakanya, motif-motif narkoba yang dijual khususnya pada anak-anak usia sekolah bermacam-macam. Ada dalam bentuk permen cicak, permen karet merk terbaru, bakso dan lainnya. Anak sekolah, menurut Nurul, biasanya mencoba memakai narkoba dengan anggapan narkoba itu keren. Selain itu, di masa remaja yang labil biasanya mereka butuh tempat untuk mencurahkan masalah mereka. “Ketika tidak ada tempat curhat seperti yang diinginkan, larinya ke narkoba,” jelas Nurul.
Di depan sejumlah siswa SMP, SMA dan SMK yang begitu antusias mendengar uraian Nurul soal narkoba, dijelaskan pula bahaya seputar narkoba. Antara lain, penyakit badan terdapat nyeri sangat hebat di persendian tulang, otot, juga nyeri di hati dan ginjal. Secara mental dan emosional, pengguna narkoba lebih suka menyendiri, cenderung pemarah dan mudah berhalusinasi. “Bisa dikatakan, mereka mengalami kesulitan masa depan dalam menata kehidupan sosialnya,” papar Nurul.
Soal anak-anak dan narkoba, Aktivis anti Aids dan Narkoba ini mengisahkan cerita tentang Oli (18) – sebut saja begitu – yang sebenarnya tidak ingin menjadi pengedar. Apa yang dilakukan setiap harinya adalah mencari akal bagaimana bisa mendapatkan uang untuk membeli putauw. Suatu hari, Oli sakauw dan tidak punya uang lagi sehingga nekat menjual tabung oksigen milik ibunya yang bekerja sebagai bidan. Saking bingungnya, kemudian Oli pun lari ke BD (istilah popular untuk Bandar narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya). Dari sinilah kemudian Oli menjadi pengedar narkoba.
Oli adalah satu dari 108 anak pengguna narkoba di Jabodetabek yang berhasil diwawancara oleh Badan Narkotika Provinsi (BNP) secara mendalam. Dari 108 responden itu, sebagian besar atau 30,4 persen karena ikut-ikutan teman, menyusul 10,9 persen adalah mereka yang dekat dan selalu berhubungan dengan bandar. Anak lain mengaku ingin mendapat putaw gratis jika ikut mengedarkan, dan ada juga yang memang dipaksa oleh teman. Hanya dua orang yang terlibat pengedaran karena broken home.
Menjadi pengedar narkoba bukan saja menyebabkan dirinya menjadi kaya, sekaligus menderita karena mendapat kemudahan memperoleh narkoba. Apalagi, pengedaran narkoba merupakan salah satu bisnis industri legal terbesar di dunia selain perdagangan senjata gelap dan prostitusi. Oleh karena itu, imbau Nurul, instansi pemerintah hendaknya tidak cukup hanya mengeluarkan konsep, tetapi butuh konsistensi. Selama konsistensi itu tidak dilakukan, pengembangan narkoba akan lebih parah. Terutama remaja pemakai narkoba umumnya juga mengarah pada perilaku seks bebas yang semakin berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental generasi muda ke depan.
Melencengnya sebagian remaja pada perilaku seks bebas, kata Nurul, karena ketidaktahuan remaja tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Beruntung, saat ini telah dibentuk PIK KRR di setiap sekolah mulai dari SMP, SMU, SMK di Jakarta. sehingga bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh para remaja sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, berkonsultasi dengan teman sebaya dan tempat memperoleh informasi tentang berbagai masalah berkaitan dengan kesehatan reproduksi, penyalahgunaan narkoba, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Menurut Sonson Sanusi, Kepala Litbang BKKB DKI Jakarta, dibentuknya PIK KRR diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih bertanggung jawab dan mampu membuat penilaian dan keputusan secara mandiri serta memahami diri dan lingkungan serta perkembangan yang dialaminya baik secara fisik maupun psikologis. Sementara cara kerjanya, dikelola langsung oleh pengurus OSIS yang telah mendapat pendidikan orientasi KRR.
Menegakkan Hak Kesehatan Reproduksi di Pesantren
 
Pondok pesantren sebagai sub kultur dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia memiliki peranan amat besar dalam membangun kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang keagamaan. Bahkan dalam bidang kehidupan lainnya pun pesantren dengan kyai sebagai figur sentral juga telah memberikan sumbangsihnya. Dari persoalan yang bersifat pribadi sampai yang berkaitan dengan kehidupan untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsa ini.

“Peran semacam itu berlangsung sejak awal kelahiran dunia pesantren di Indonesia sampai sekarang ini,” kata Drs Yahya Ma’shum, dari bagian Hubungan Masyarakat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat.

Dan, lanjut dia, sikap keterbukaan pesantren terhadap perubahan dan perkembangan yang ada di luar dirinya sungguh merupakan ciri khas pesantren, sehingga karena itu peran pesantren sebagai tempat bertanya, belajar dan pusat pendidikan keagamaan tetap mendapat respon positif masyarakat lingkungannya. Meskipun hal-hal baru yang akan masuk pesantren tidak berarti tidak mengalami hambatan dan proses panjang. Misalnya terhadap isu keluarga berencana, gender, bahkan terhadap pemikiran keislaman tentang isu tertentu.

Pendapat tersebut diperkuat Dra Masruchah dari LKK Nahdatul Ulama (NU) yang melihat ‘fokus utama pendidikan’ di pesantren pada Qur’an dan Hadits. Dimana Al Qur’an dan Hadits sebagai teks agama sungguh tidak ada yang meragukan atas kebenarannya, dengan kandungan semangatnya yang menjamin adanya kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk jaminan dalam hal kesehatan dan hak reproduski perempuan.

“Hanya saja dalam perkembangannya, karena teks-teks agama diam, oleh sebagian kaum muslim diiterprestasikan dengan perspektifnya. Para penafsir yang mayoritas laki-laki dengan situasi sosial Timur Tengah (Arab, red), kala itu yang amat tidak berpihak pada perempuan, dan berakibat pada hadirnya teks-teks agama yang male bias,” papar Masruchah seraya ditambahkan bila interprestasi yangberwajah laki-laki itu tersosialisasi secara efektif melalui kitab-kitab fiqh yang kemudian menjadi hegemoni ketimbang teks-teks agama itu sendiri.

Karenanya perlu dilakukan strategi agar kesehatan reproduksi bisa dipahami secara baik di lingkungan hidup pesantren. Para santri bagaimana pun perlu memperoleh pencerahan dalam hal kesehatan reproduksi tersebut.

Badal Kyai dan Nyai
Seperti diungkapkan Masruchah pada kesempatan tampil di acara seminar di PKBI Pusat tentang upayanya membawa isu kesehatan reproduksi menembus tembok pesntren. Menurutnya,diperkirakan tidak kurang dari 500 podok pesantren berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng) yang secara kultur tidak jauh berbeda, termasuk kitab-kitab kunci yang diajarkannya.

Upaya sosialisasi kesehatan reproduksi dilakukannya dengan merangkul para badal (asisten) Kyai dan Nyai, sebutan untuk pimpinan pondok pesantren. Selama tahun 1999-2002 bersama Yayasan Kesejahteraan Fatayat, mantan santri perempuan ini membuka wacana fiqh sebagai langkah penegkanan hak kesehatan reproduksi dengan melibatkan sekitar 50 orang badal Kyai dan Nyai dari sekitar 40 pesantren di DIY dan Jateng.

“Melalui badal hasil analisa dan workshop sangat strategis memiliki peluang lebih besar untuk dapat sampai ke para santri, apalagi mayoritas pengajaran di pesantren dilakukan para badal, sebab Kyai dan Nyai lebih banyak ‘hidup’ di luar,” jelas aktivis Fatayat NU ini.

Meman g awal pelaksanaannya tidak mudah. Pasalnya, isu kesehatan reproduksi masih dianggap sesuatu yang baru di lingkungan pesantren. Sehingga wajar jika masih tampak sensitif. Namun demikian, ujar Masruchah, pada awal evaluasi tahun kedua program penguatan hak reproduksi perempuan di pesantren dengan badal, maka diperoleh rekomendasi program sebagai aksi aktualisasi program yang meliputi perlunya buku panduan pengajaran fiqh, perlunya advokasi kasus-kasus pelanggaran hak reproduksi, dan perlunya pesantren mengaktualsasi kesehatan dan hak reproduksi tidak hanya dalam wacana tetapi dengan tindakan pelayanan, seperti klinik kesehatan reproduksi. “Sehingga kelak masalah kesehatan dan hak kesehatan reproduksi bisa dipahami sebagai hak setiap insan manusia,” kata Masruchah.

 

KESETARAAN JENDER, MENANGKAL KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN


 

MASALAH perempuan memang tak habis-habisnya, ada yang diperkosa empat pemuda, tak seorang pun diantara pelaku mau bertanggung jawab, katakan saja namanya Bunga, akhirnya .melahirkan dalam duka nestapa terkucilkan selama mengandung jabang bayi. Apa yang terjadi Bunga, lantaran kecewa berat, yang akhirnya menjadi beban psikologis, secara "kejam" melakukan mutilasi. Bunga yang berusia 20 tahun itu, tak bisa bersembunyi dari kejaran hukum, dia memang bukan DPO seperti koruptor yang menggasak uang rakyat puluhan, bahkan ratusan milyar, atau triliyunan.
Bunga yang kini bertambah layu, jadi tersangka walau belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena belum dimeja hijaukan. Bunga tetap perempuan, sebagaimama perempuan lain. Secara kodrati adalah sosok "lemah" yang patut dihormati dan dilindungi oleh lelaki dan hukum dari segala tindakan kekerasan yang bukan dikarenakan berasal darinya sebagai pemicu. Berbagai bentuk tindak kekerasan telah menerkam kaum perempuan, teriakan mereka untuk keadilan bagaikan ditelan bumi.
Sejauh mana pandangan praktisi, seperti yang dikemukakan, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PIK Kalimantan Barat, Hj. Hairiah,SH akan hal itu. "Adanya kekerasan secara domestik misalnya, memunculkan paradigma perempuan dianggap insan yang rendah , sulit memberontak menyuarakan hati nurani, di lingkungan keluarga mau pun hukum, lantaran kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan serta unsur diskriminasi dan ketergantungan terhadap laki-laki" papar Hj.Hairiah, " Itulah akar masalahnya" lanjut Alumnus Untan itu mantap.

 

PENDIDIKAN KARAKTER, PERLUKAH?


 
Salah satu indikator yang sulit dicapai oleh remaja saat ini adalah masalah kepribadian. Tidak sedikit remaja yang terlibat tawuran, narkoba, seks bebas dan aksi kriminal lainnya karena belum terbangunnya karakter pada setiap orang yang diwujudkan dengan moral, etika, sopan santun, toleransi dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut Prof Yaumil Chairiah Agoes Achir, kepala BKKBN, pendidikan karakter perlu diberikan sejak usia dini demi terwujudnya sumber daya manusia berkualitas.

· Saat meninjau lokasi Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR) dan Bina Keluarga Lansia (BKL) di kantor kelurahan Sirnabaya, kecamatan Teluk Jambe, kabupaten Karawang, Jabar, akhir Februari lalu, Yaumil beserta rombongan dari BKKBN Pusat, menegaskan kembali pentingnya pendidikan karekter sejak dini di setiap kegiatan. “Pendidikan karakter ini akan lebih diarahkan pada upaya peningkatan kualitas non fisik,” tegasnya.
Pendidikan karakter sejak dini merupakan proses edukasi dalam upaya mempersiapkan dan mengembangkan sikap mental sejak awal dalam menghadapi problema kehidupan khususnya remaja. Di dalamnya, terkandung lima aspek kualitas non fisik yang diharapkan bisa terbentuk. Yaitu, kualitas kepribadian (meliputi kecerdasan, ketahanan mental dan kemandirian), kualitas bermasyarakat (meliputi kesetiakawanan sosial dan kemampuan bermasyarakat), kualitas kekaryaan, kualitas wawasan lingkungan dan kualitas spiritual keagamaan.
Selain melalui BKR yang menjadi payung kesehatan reproduksi remaja (KRR), pendidikan karakter diharapkan bisa diberikan sejak balita melalui kelompok BKB. Karena dari hasil pantauan di beberapa daerah, BKB mampu memotivasi para ibu untuk bisa mendidik balitanya dengan baik, agar kelak menjadi remaja sehat dan berkepribadian baik.
Pentingnya pendidikan karakter diberikan sejak dini pada anak-anak, ungkap Yaumil, karena persoalan-persoalan yang dihadapi remaja saat ini sangat rentan dengan tindak kejahatan dan seks bebas. Di beberapa daerah pedesaan contohnya, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haidh pertama. Padahal, pernikahan dini berarti mendorong remaja untuk menerabas alur tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial si pengantin.
Niali-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat, telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Mitos pun telah memojokkan remaja putri untuk membujuk paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara suka sama suka, bahwa hubungan seks yang dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Celakanya, berbagai metode kontrasepsi ‘fiktif’ juga beredar luas di kalangan remaja. Seperti, basuh vagina dengan minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggungjawab. Mereka dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, memilih menjalani kehamilan dini seperti yang dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun dengan risiko kematian ibu saat melahirkan 28% disertai kegamangan karena tidak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Dan pilihan ke dua adalah aborsi yang tidak jarang dilakukan dengan cara tidak aman atau di luar standar medis.
Oleh karena itu, dalam kunjungannya ke Desa Sirnabaya, kabupaten Karawang ini, Yaumil mengimbau pada petugas pelayanan setempat agar pendidikan kesehatan reproduksi remaja tidak hanya diberikan melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat. Selain itu, harus dipikirkan pula tentang penyediaan pelayanan KRR yang ‘ramah remaja’; menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi dan peka pada persoalan remaja.
Menurut Tatang Sukendar, Bakorwil Gubernur Jawa Barat yang hadir dalam kunjungan kerja kantor BKKBN, kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jawa Barat yang berhasil menurunkan jumlah penduduk dari 5,6 persen pada sensus 2000, menjadi 2,15 persen pada sensus 2001. Penurunan ini berpengaruh pada piramida penduduk berbentuk kubah, di mana penduduk usia remaja kian meningkat. Hal ini mengandung konsekuensi yang perlu dipikirkan bersama untuk menyiapkan tumbuh kembang anak agar tidak terjadi lost generation.
Beruntung, pengembangan remaja desa Sirnabaya memiliki sikap kondusip dari lingkungan sekitar maupun keluarga. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan para ibu melalui pengajian rutin, arisan, PKK maupun di Posyandu selalu menyelipkan bagaimana berkomunikasi yang baik pada anak yang menjelang pubertas. Sehingga bakat dan minat remaja dapat tersalurkan dengan baik.
Dalam kunjungan ke Desa Sirnabaya ini, Yaumil juga menyerahkan paket bantuan dari BKKBN Pusat, berupa 4 paket APE (Alat Permainan Edukatif), Buku seri budi pekerti, VCD dan buku panduan KRR dan bantuan untuk mereka yang terkena musibah banjir berupa obat-obatan dan mie instan.

 

Selamatkan Remaja dari Ancaman HIV/AIDS


 
HIV/AIDS merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat. Namun, menurut data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan 30 Juni 2007 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 9.689 kasus. Suatu peningkatan yang cukup cepat sejak dilaporkannya jumlah kasus AIDS secara kumulatif akhir Maret 2007 sebesar 8.988 kasus. Estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 adalah sebesar 193.000 kasus, sedangkan infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2007 sebanyak 5.813 kasus, lebih dari seperempatnya dari yang diestimasikan. Bagiamana remaja melihat hal ini? Bagaimana pula mereka menilai pergaulan bebas yang kian marak?

Belum lama ini Radio DFM 103.4 Jakarta dalam acara Posdaya Membangun Jakarta yang disiarkan langsung selama satu jam menghadirkan dua remaja metropolitan bernama Carla dari Internatonal Youth Partnership (IYP), yang juga Ketua Pelaksana kegiatan “Speak Up Youar Right! (Partisipasi Remaja dan HIV/AIDS) di Sekolah Menengah Atas (SMA) 36 Rawamangun, Jakarta Timur, serta Farah, siswi kelas 1 SMA 36 Rawamangun, seorang anggota Pusat Informasi Kegiatan Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR).
Keduanya mengaku sebagai remaja metropolitan yang sangat care dengan kesehatan reproduksi dan aktif dalam kegiatan yang didukung oleh jejaring seperti Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), BKKB Propinsi DKI Jakarta, Komisi Perlindungan Aids (KPA) Propinsi DKI Jakarta dan beberapa LSM terkait kesehatan reproduksi.
Saat ini, baik menurut Carla maupun Farah menilai banyak prilaku remaja yang sudah kebablasan dalam perilaku pergaulannya. “Mereka sudah kenal yang namanya hubungan intim sejak dibangku SMP, ada yang harus menikah diusia muda, ada pula yang rusak organ reproduksinya karena beberapa kali melakukan aborsi,” kata keduanya.
Memag sejauh ini seks bebas dan aborsi yang dilakukan teman tidak diketahui oleh orangtuanya. Bahkan untuk curhat masalah temannya sewaktu SMP ini kepada orang tuanya, Farah merasa ragu dan takut dipindahkan ke sekolah lain. Jadi dia hanya berceritera kepada kakaknya.
“Ini sekelumit hal yang bisa kita garis bawahi bahwa betapa para remaja ini sebenarnya ingin lebih dekat dan sharing dengan orang tua mereka bukan hanya pada urusan sekolah dan teman namun juga tentang seks,” timpal dr Hernalom Gultom dari BKKB Provinsi DKI Jakarta.
Karenanya, ujar dokter yang rajin turun ke lapangan memberi penyuluhan ke kalangan remaja sekolah bersama artis-arist top ini, sudah saatnya orang tua menjadi teman yang baik untuk anak-anaknya.
Menurut dr Hernalom, pada dasarnya remaja adalah proses peralihan dari anak-anak sebelum dewasa dimana ambisi dan potensi energy mereka menggebu-gebu termasuk dalam urusan seksual.
Banyak hal mempengaruhi sikap mereka, imbuhnya. Untuk menyalurkannya, kata dokter ramah ini, tergantung bagaimana kondisi lingkungan, nilai-nilai yang dianut, adat-istiadat, agama dan tata hukum yang berlaku. Ia menyebut, di lapangan segelintir kalangan tertentu memandang seks itu tabu, sehingga akhirnya mereka bertanya pada teman, kalau temannya bertanggung jawab bisa lurus-lurus saja. “Lalu bagaimana kalau temannya itu malah menjerumuskan?” tanyanya.
Baik Carla maupun farah setuju dengan pendapat Hrnalom Gultom. ”Saat ini tak seharusnya lagi orang tua dengan egonya mengatakan, Anak saya dididik baik-baik secara keagamaan jadi gak mungkin melakukan penyimpangan,” ujar Carla yang juga tercatat sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini.
Menurut aktivis peduli kesehatan reproduksi remaja ini, hal yang perlu diketahui orangtua adalah, anak punya lingkungan sosial yang bisa merubah dan menentukan bagaimana perilakunya, perlu dibimbing. ”Anak perlu diarahkan dan diperhatian. Tak cukup dengan bekal materi karena mereka punya keinginan-keinginan yang harus didukung sepenuhnya,” terang Carla lagi.
”Agar remaja terlibat aktif dalam membangun bangsa Indonesia, sangat bagus bila ada banyak tempat tersedia akses informasi, pendidikan dan pelayanan yang bersahabat bagi seluruh remaja Indonesia. Sehingga nantinya remaja kita terselamatkan dari ancaman HIV/AIDS,” kata Hernalom Gultom menambahkan.

 

Bergeser, Nilai Agama Sebagian Remaja


 
Di tengah maraknya pro dan kontra kasus legalitas masalah aborsi, dalam satu hari dilaporkan ada sekitar dua puluh remaja yang mengadukan tentang kehamilan pada bidan-bidan yang ada di Jakarta. Hal ini bukan saja menambah coreng hitam perkembangan kesehatan reproduksi remaja (KRR), tapi juga berdampak makin tingginya tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia akibat kehamilan yang tidak diinginkan diusia muda.

Remaja umumnya masih rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat pergaulan bebas. Dan celakanya, mereka tidak mendapat pengetahuan yang cukup soal pentingnya menjaga kesehatan reproduksi (kespro). Bahkan, untuk bertanya soal kespro pun mereka tidak tau harus kemana dan enggan menanyakan pada orang tua maupun guru di sekolah. Tak urung, saran dari teman sebaya kadang menjadi rujukan untuk mengambil sebuah keputusan.
Diakui HM Sun’an Miskan Lc, ketua DPD Muhammadiyah Jakarta Pusat, ketidaktahuan remaja tentang kesehatan reproduksi membuat remaja semakin ingin melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan konsep sehat tersebut. Hubungan seksual di luar nikah tanpa rasa berdosa sering dilakukan remaja dan mengakibatkan kehamilan yang pada akhirnya menempuh jalur aborsi tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam.
“Persoalan-persoalan seperti itu hendaknya didialogkan secara jujur, dewasa dan penuh kasih sayang antara orangtua dan remaja,” ujar Sun’an saat membuka acara orientasi kesehatan reproduksi remaja di Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiah Jakarta yang diselenggarakan oleh ortom Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Pusat dengan BKKBN DKI Jakarta belum lama ini.
Dari soal aborsi, kehamilan yang tidak diinginkan sampai masalah virus HIV/ AIDS dan narkotika seakan menjadi ancaman bagi remaja dalam menterjemahkan budaya globalisasi saat ini. “Ada prilaku remaja yang sulit dimengerti. Pulang sekolah cari nafkah menjadi penari streptis dan digaji sekitar Rp 200-300 ribu. Dia tahu, bakal dimarahi orang tua, tapi tetap dilakukan karena takut dibilang kuno oleh teman sekitarnya,“ ujar Dra Hj Samsidar Siregar, anggota DPRD DKI Jakarta yang menyayangkan telah bergesernya nilai-nilai agama pada sebagian remaja saat ini.
Bahkan, dalam kunjungan terakhirnya ke bidan-bidan yang ada di Jakarta, dilaporkan ada sekitar 20 remaja yang mengadukan tentang kehamilan dalam sehari. Hal ini tentu saja membuat miris hati setiap orang, seolah belum ada tangan yang meringankan beban permasalahan yang dihadapi remaja. Oleh karena itu, ungkapnya, pemahaman masalah kesehatan reproduksi perlu lebih digiatkan melalui acara-acara seperti dalam bentuk seminar maupun orientasi yang menyertakan siswa-siwi SMP/SMU berikut orangtua dan guru-guru mereka.
“Kegiatan kesehatan reproduksi remaja (KRR) hendaknya dilaksanakan satu atap agar hasilnya kelihatan, tidak seperti sekarang ini,” cetus wanita yang aktif di PP Aisyiah yang menjadi salah satu pembicara dalam orientasi kesehatan reproduksi remaja di Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiah Jakarta ini.
Diakuinya, masalah kesehatan reproduksi remaja banyak ditangani oleh berbagai intansi terkait, seperti Diknas, BPM dan lainnya sehingga hasilnya tidak kelihatan. Sementara itu, BKKBN sebagai badan yang seharusnya memiliki wewenang penuh soal kesehatan reproduksi menjadi “terpinggirkan” karena hal yang sama dilakukan pula oleh instansi-instansi terkait atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya.
“Masalah kesehatan reproduksi remaja banyak yang menangani itu cukup baik. Tapi akan lebih baik bila ada satu badan yang mengkoordinasikan kegiatan itu supaya lebih terpadu. Sehingga, anggarannya pun jelas dan tidak terbagi kesana-kemari,” tutur Syamsidar yang acap kali mengusulkan masalah ini dalam rapat DPRD.

 

3 Isu Pokok Kesehatan Reproduksi Remaja


 
Masalah remaja selalu menjadi topik pembahasan yang tak ada habisnya. Bagaimana tidak? Dari 42 juta jiwa remaja di Indonesia, dalam 15 tahun mendatang diperkirakan akan mencapai usia reproduksi. Artinya, masyarakat membutuhkan investasi besar dalam mempersiapkan remaja agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan sosial ekonomi khususnya, dan seluruh aspek pembangunan nasional pada umumnya. Apabila 70 persen remaja Indonesia terjangkit HIV/AIDS, bagaimana kondisi remaja kita 20 tahun mendatang?

Pertanyaan senada mengemuka dalam Round Table Discussion tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang diselenggarakan BKKBN bekerja sama STARH program- USAID di Hotel Park Lane, Jakarta, awal Februari 2002 lalu. Pasalnya, tidak akan ada satu generasi pun yang bisa hidup bila virus HIV/AIDS melingkari kehidupan remaja. Di seluruh dunia pada tahun 2001 lalu, tercatat ada 11,8 juta remaja usia 15-24 tahun terkena HIV. Dan gadis remaja di Afrika memiliki risiko lima kali lebih tinggi terinfeksi HIV.
Berdasar laporan penelitian di banyak negara, rentannya remaja terkena virus mematikan ini karena mereka mengabaikan informasi dan pelayanan-pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan, khususnya kesehatan reproduksi dan seksual remaja. “Jadi, jangan anggap enteng peran pelayanan kesehatan reproduksi remaja (KRR) di masyarakat,” tukas Dr Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD, Deputi Keluarga Berencana/Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN Pusat di depan sekitar 40 orang pemerhati masalah KRR. Di antaranya, hadir pula Prof Dr Yaumil Choiriah Agus Achir, Kepala BKKBN dan Prof Haryono Suyono, mantan Menko Kesra dan Taskin/Kepala BKKBN.
Menurut Siswanto, ada tiga isu pokok dalam KRR. Yaitu, (1) perkembangan seksual dan seksualitas, (2) penyakit menular seksual dan HIV/AIDS dan (3) kehamilan yang belum diharapkan dan kehamilan berisiko tinggi (kehamilan tidak sehat). Di beberapa daerah, sebagain remaja tidak memperoleh informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi secara cukup dan benar. Bahkan, mereka pun tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi atau mem

Search site

Gilar Remaja Banjarnegara© 2009 All rights reserved.