Orangtua Sering Disalahkan Namun Tidak Dilatih

24/03/2010 18:33

“Anak Bapak dan Ibu tak punya inisiatif untuk belajar di kelas, tolong diberitahu ya?”
“Anak Anda nilainya jelek, jika ini terjadi ia bisa tidak naik kelas, tolong dinasehati ya!”
“Anak Bapak dan Ibu tidak punya motivasi dan kurang bertanggung jawab, tolong dilatih di rumah ya?”
“Anak Anda kurang percaya diri dan susah bicara kalau ditanya, perhatikan perkembangannya di rumah, kalau seperti ini terus ia bisa tidak naik kelas?”
“Anak itu suka berbohong, siapa sih orangtuanya?”
“Anak itu kurang tahu aturan dan sopan santun, apakah orangtuanya tidak pernah mengajarkan hal itu di rumah?”

Hmmm …… itulah sederet komentar yang membuat orangtua menjadi merasa bersalah dan tak berdaya. Para guru, masyarakat dan mungkin juga para para pejabat sering menyalahkan orangtua atas kenakalan anak dan problem para remaja. Namun apakah mereka yang menyalahkan para orangtua itu memberikan jalan keluar yang memuaskan? Pada akhirnya orangtua menemukan diri mereka sendirian, kebingungan dan tak berdaya atas apa yang terjadi pada anaknya. Mereka merasa telah berbuat banyak untuk anaknya namun hasilnya …… membuat para orangtua semakin bingung apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk mendidik anaknya.

Yaa …… para orangtua sering disalahkan namun kurang dilatih. Di Indonesia setiap hari ribuan orang tiba-tiba memiliki pekerjaan dan predikat baru sebagai – orangtua – saat bayi pertama mereka lahir.  Para pasangan muda itu menyambut gembira kehadiran buah hati tercinta mereka. Mereka tak menyadari bahwa mereka sedang terseret ke dalam sebuah “badai” yang akan disebabkan oleh si mungil yang tampak tak berdaya itu. Tangisan tengah malam yang akan membangunkan mereka, tanggung jawab penuh atas kesehatan fisik dan emosi sang bayi yang akan beranjak menjadi anak-anak, remaja dan orang dewasa, serta berbagai aturan atau strategi yang harus dipikirkan untuk mendidik “pendatang baru bumi” itu yang bisa memicu pertengkaran atau konflik baru diantara para suami dan istri.

Pekerjaan menjadi orangtua adalah pekerjaan tersulit di dunia namun tidak pernah ada sebuah informasi holistik untuk melakukan hal itu. Permasalahan yang disebutkan di awal tulisan ini hanyalah sebagian kecil masalah yang bisa menghambat potensi jenius seorang anak.

Kebanyakan permasalahan seperti di atas berasal dari hilangnya rasa aman yang dibutuhkan seorang anak. Sebagaimana kita ketahui rasa aman adalah kebutuhan mendasar dari setiap manusia. Jika rasa aman terganggu maka kita akan berusaha dengan sekuat tenaga mendapatkannya. Demikian juga dengan anak-anak. Sebagai lambang permintaan akan adanya rasa aman itu mereka “menunjukkan perilaku menyimpang” agar dapat perhatian dari orangtuanya.
Bagaimana membuat mereka merasa aman? Di buku “Rahasia Mendidik Anak agar Sukses dan Bahagia” (Ariesandi S. – Gramedia, 2008) saya membahas hal ini sangat detail disertai aplikasi praktis. Namun untuk tulisan ini marilah kita tinjau secara singkat satu aspek penting yaitu jangan terlalu sering mengkritik perilaku anak-anak. Para orangtua sering terjebak dengan sebuah frase “saya tidak ingin kamu terperosok ke lubang yang sama”. Oleh karena itu mereka berusaha mencegah dan mengatur segala perilaku anak agar sang anak “tidak terperosok ke lubang yang sama”.

Namun cara orangtua melakukan hal ini sangat melukai hati mungil anak-anak mereka. Akhirnya para bayi tak berdosa itu tumbuh menjadi remaja yang mengatakan “mama saya sebenarnya baik namun cerewetnya itu lho …… mana tahan!” , “papa saya itu sebenarnya penuh pengertian walau sering memaksakan pemikirannya sendiri seperti tidak pernah remaja saja” bahkan ada juga komentar dari klien remaja saya seperti ini “mama itu seperti anak kecil, maunya semua keinginannya dituruti, apa dia pikir saya ini masih anak-anak yang harus diatur, saya kan punya pikiran sendiri”

Yaa …… semua komentar itu sebenarnya adalah perwakilan dari rasa tidak dipercaya seorang anak yang pada gilirannya mengusik rasa aman yang dibutuhkannya. Karena merasa tidak dipercaya oleh orangtuanya maka dalam bertindak mereka menjadi ragu-ragu dan akhirnya pada satu titik sang anak tidak mengambil tindakan apapun karena mereka tahu pada akhirnya pasti ada yang kurang, disalahkan dan dimarahi.

Mereka tidak merasakan penerimaan yang tulus dari orangtuanya. Penerimaan itu seringkali diukur dari prestasi akademiknya semata. Orangtua – tidak semua –  seringkali sibuk memerhatikan nilai dan nilai dan nilai namun mengabaikan perasaan terdalam seorang anak.

Cobalah hitung berapa banyak kritikan yang Anda lontarkan dan berapa ucapan terima kasih yang Anda sampaikan dalam sehari pada anak tercinta Anda. Anda akan kaget mengetahui bahwa kita ternyata lebih banyak memberikan kritikan daripada pujian. Tak heran banyak anak-anak tumbuh menjadi dewasa diliputi dengan banyak perasaan bersalah dan perasaan tak mampu. Jika sebagai orangtua kita juga merasa seperti ini cobalah tengok dan ingat kembali bagaimana cara kita dibesarkan dan ………… perbaiki cara itu pada anak-anak tercinta kita sekarang ini!

Ingin tahu lebih detail tentang semua ini … silakan baca buku “Rahasia Mendidik Anak agar Sukses dan Bahagia: tips teruji dan praktis melejitkan potensi optimal anak” yang saya tulis dan diterbitkan Gramedia. Buku ini adalah sebuah program pelatihan mandiri bagi para orangtua untuk mendidik dan membesarkan anak-anak tercinta. Orangtua perlu tahu bagaimana memunculkan motivasi internal dalam diri seorang anak. Juga perlu tahu bagaimana melakukan komunikasi efektif serta melakukan koreksi terhadap perilaku dan pemikiran negatif sang anak dengan berbagai teknik terapi yang sederhana namun efektif.

Salam hangat penuh cinta untuk Anda sekeluarga!

Back

Search site

Gilar Remaja Banjarnegara© 2009 All rights reserved.